Cerita dibalik kata "Turatea"

Saya berasal dari sebuah kabupaten di Sulawesi selatan bernama Jeneponto. Kabupaten ini secara astronomis terletak antara 5O16’13’’ – 5O39’35’’ Lintang Selatan dan 12O40'19'' - 12O7’31” Bujur Timur tepatnya berbatasan dengan Kabupaten Takalar di sebelah barat serta Kabupaten Bantaeng di sebelah timur atau 2 jam perjalan dari kota Makassar. Kabupaten ini merupakan tanah kelahiran saya dimana kedua orang tua saya pun merupakan penduduk asli Jeneponto.



‘Kota Kuda’ begitu julukan yang diberi oleh para tetangga kabupaten karena masyarakat di kabupaten Jeneponto 90% bergantung dengan binatang yang satu ini. Tidak hanya itu, bagi masyarakat kabupaten Jeneponto kuda bukan hanya sebagai binatang peliharaan atau sebagai kendaraan saja tetapi kuda juga merupakan sebagai makanan khas.
Jika di beberapa tempat di Indonesia atau pun di dunia, kuda digunakan sebagai binatang peliharaan atau pun kendaraan namun tidak bagi masyarakat Jeneponto. Masyarakat Jeneponto terkenal dengan makanan khasnya yaitu ’coto kuda’. Makanan khas yang selalu tersedia pada saat-saat acara besar seperti pesta pernikahan, sunatan, syukuran serta acara kematian atau ta’ziah. Selain ‘kota kuda’ kabupaten Jeneponto memiliki julukan lain yaitu Turatea. Bila diartikan dalam Bahasa Indonesia yakni Orang di atas.
Selama ini saya selalu mendengar kata ini disebut-sebut bahkan sering membacanya jika berada di batas kota Kabupaten jika dari Kota Makassar, namun baru saja mengetahui sejarah di balik kata sederhana ini.
Seperti kalian ketahui di tulisan saya sebelumnya bahwa saya merupakan seorang mahasiswi tingkat akhir di salah satu kampus Islam Negeri di Makassar, tengah menyusun skripsi sebagai syarat menjadi sarjana. Judul skripsi yang saya ambil adalah “Redesain Pasar Tradisional Turatea di Kabupaten Jeneponto” judul ini saya ambil karena melihat keadaan pasar di Jeneponto yang bisa dikatakan “miris” meskipun pada dasarnya pasar tradisional tidak jauh dari kata kotor dan semrawut, namun jika melihat dari kacamata seorang arsitek (jurusan saya) pasar induk Jeneponto ini ‘buruk’ padahal pasar ini baru saja direlokasi dan memilliki bangunan baru yang lebih modern.
Lima bulan pasca sakit keras saya melanjutkan 'perjuangan skripsi' dan masih berlanjut sampai saat ini itu pun masih saja tetap berada di BAB I (hahaha). Saya tidak tahu apakah saya yang bodoh karena belum juga menyelesaikannya atau karna memang judul ini sulit untuk di temukan ‘titik terangnya’. Saya memang kesusahan tapi bukan berarti saya menyerah, jujur saja selama lima bulan ini saya belum serius dalam mengerjakannya. Tapi melihat teman-teman yang lain mulai bergerak dan meninggalkan saya teramat jauh kesadaran saya pun kembali. Hal seperti ini tidak boleh dipandang sebelah mata karna hanya kesungguhan dan ketekunanlah yang dapat menyelesaikannya.
Saya sangat pusing dalam penyusunannya, semua hal yang saya ketahui dalam menyelesaikan masalah urgent yang terjadi pada pasar ini telah saya kemukakan pada pembimbing baik dari kacamata arsitektur maupun kacamata saya pribadi yang minus 0,75 (hehehe). Hingga suatu hari ketika setelah konsultasi dengan Pembimbing I, saya ‘mengadu’ pada kakak senior mengatakan semua kalimat pembimbing padanya. Ia pun berpikir sejenak sembari melihat paper yang saya bawa kemana-mana.
Ia pun memberi masukan untuk menggali lebih dalam kata ‘Turatea’ yang terpampang jelas di sampul draft saya. Saya pun mengucapkan terima kasih padanya dan bertekad untuk mencari lebih dalam makna kata ‘Turatea’. Saya pun berinisiatif untuk kembali ke kota kelahiran saya berharap dapat menemukan hal tersebut.
Setelah mendapat ekstra kelas di tempat kursus pada hari juma’t sore saya bergegas menuju kampung halaman saya, mengepak barang-barang yang saya butuhkan. Ternyata saya baru ingat bahwa pada sabtu siang saya mempunyai tangggung jawab untuk bertemu dengan adik-adik di SDN. IV Gowa untuk mengajari mereka menulis yang baik dan benar ini adalah program dari LEMINA yaitu Nulis Bareng Sahabat Lemina.
Saya pun mengirim pesan ke kak EKa (salah satu sahabat LEMINA) mengatakan permohonan maaf saya yang sebesar-besarnya karena tidak dapat ikut serta dalam acara tersebut dan kak eka pun mengerti. Saya menghaturkan terima kasih padanya dan melanjutkan perjalanan saya. Tidak hanya acara tersebut yang saya batalkan, acara salah satu organisasi yang baru-baru ini pula saya masuki Aksi Indonesia Muda (AIM) mengadakan acara pembubaran panitia serta penetapan tim inti. Lagi, saya mengucapkan perminta maaf saya pada semua member karena tidak dapat mengikuti acara tersebut namun mereka semua mengerti dan memberi semangat pada saya, terima kasih semuanya :')
Kembali lagi pada cerita saya. Saya pun tiba di rumah dengan selamat sentosa pada pukul 6.45 sore. Keesokan harinya, saya berkumpul dengan keluarga saya minus ibu dan si bungsu karna mereka harus ke sekolah melakukan tanggung jawab masing-masing. Saya duduk di pintu belakang rumah sembari belajar bermain gitar, kakak perempuan saya sibuk membuat teh dan ayah saya sibuk -entah apa- kemudian beliau duduk di meja makan tak jauh dari saya.
“pak, kenapa Jeneponto di sebut turatea?” saya membuka suara.
“kenapa di sebut turatea?” bapak menatap saya dengan wajah heran
“hehehehe, iyah pak saya mau tahu soalnya saya harus tahu kebudayaan atau apapun itu dari Jeneponto biasalah pak masalah skripsi” dan saya pun nyengir padanya
“ohh.. hmm.. begini. Dulu waktu bapak SMP pernah cerita-cerita dengan salah satu om yang tahu banyak tentang sejarah Jeneponto. Waktu itu beliau menceritakan, saat itu pada zaman kerajaan Gowa terdapat perlombaan antara Kerajaan Gowa dengan Kerajaan Binamu (Jeneponto), pada saa itu kerajaan binamu diberi tantangan membuat tali dari abu. Semua orang terkejut mendengar tantangan tersebut, tapi tim dari kerajaan binamu megiyakan tantangan tersebut dan mulai memikirkan membuat tali dari abu.
Salah satu dari anggota tim kerajaan binamu yang terkenal sangat cerdas memberi usul untuk mengambil kain dan membentuknya seperti tali kemudian membakarnya hingga menjadi abu. Setelah nampak seperti tali, tim dari kerajaan binamu pun memperlihatkan hasil pemikiran keras mereka dan semua orang terkejut melihatnya. Semua orang bertanya bagaimana caranya orang binamu (Jeneponto) membuat tali dari abu. Itu sangat mustahil mengingat abu sangat sulit dibentuk, orang-orang dari kerajaan gowa pun ingin menyentuhnya ingin memastikan apa yang mereka lihat nyata atau tidak namun langsung saja di halangi oleh tim kerajaan binamu karena perbuatan mereka akan menghancurkan tali abu tersebut. Kerajaan gowa pun mengakui kecerdasan orang binamu.
Setelah tantangan tali abu itu, kerajaan gowa memberi tantangan selanjutnya yaitu Pattula Tedong (adu kerbau). Kerajaan Gowa mempunyai kerbau yang sangat besar dan tak terkalahkan sedangkan kerajaan Binamu membawa kerbau yang sangat kecil bahkan bisa dikatakan anak kerbau. Semua orang tertawa melihat kerbau dari kerajaan Binamu, banyak orang yang mencemoh namun tim kerajaan binamu hanya membalas mereka dengan kalimat sederhana bahwa ukuran tidak menjadi tolak ukur menjadi pemenang namun harus melihat hasil akhirnya.
Pertandingan pun di mulai dan kerbau dari kerajaan Binamu pun langsung saja menghantam kerbau kerajaan Gowa sehingga kerbau tersebut lari ketakutan karna kerbau dari kerajaan Binamu selalu saja mengejar pantat kerbau kerajaan Gowa. Semua orang terheran-heran melihat kerbau besar itu lari pontang-panting menghindari kerbau kecil, tim kerajaan Binamu pun langsung saja tertawa lalu berkata bahwa kerbau kecil itu masih menyusui namun tidak disusui oleh induknya selama beberapa hari, kerbau kecil itu sangat kelaparan dan menganggap kerbau kerajaan Gowa adalah induknya.
Semua orang pun tertawa dan langsung mengumumkan kerajaan Binamu sebagai pemenangnya dan berkata ‘betul-betul tau binamuka to turatea, cara’de mantongi’ (betul-betul orang binamu orang diatas, sangat pintar). Maksud dari 'orang di atas' di sini adalah kepintarannya yang di atas rata-rata. Sehingga setelah kejadian tersebut kerajaan Binamu selalu dijuluki Turatea atau orang diatas dan julukan itu berlanjut sampai detik ini bahkan kerajaan Binamu sudah tidak ada lagi. Seperti itu ceritanya nak” bapak menutup cerita luar biasa itu dengan senyuman
“wow.. luar biasa. Tali abu hahaha, kerbau kecil. Astagaa” saya dan kedua kakak saya tertawa terbahak-bahak mendengar cerita tersebut.
Saya hanya tidak habis pikir pemikiran orang dulu sampai kesana, padahal mereka tak pernah mengecap manisnya dunia pendidikan. Saya akui kepintaran orang-orang Jeneponto bukan hanya karna cerita di atas atau karena saya berasal dari Jeneponto namun juga fakta yang baru saja saya ketahui bahwa Gubernur pertama di Sulawesi Selatan merupakan orang Jeneponto yang bernama Lanto Dg. Pasewang. Bukan hanya beliau namun orang-orang hebat di luar sana yang tidak bisa saya tulis semuanya sebagian besar dari kampung halaman saya ini. Namun semua tertutup dengan julukan mendarah daging  “pa’bambangan na tolo” atau dalam Bahasa Indonesia emosian dan bodoh yang sangat terkenal seantero Sulawesi.
Saya tidak menyalahkan orang-orang yang membari julukan tersebut namun menurut saya kita tak boleh memberi judge pada seseorang atau masyarakat hanya karna melihat satu keburukan. Bukan salah mereka memberi julukan tersebut namun sebagian besar masyarakat memberi ‘julukan pedas’ pada seseorang dan bahkan masyarakat hanya karna ikut-ikutan mengikuti apa yang terkenal dan berlangsung lama tanpa tahu cerita sebenarnya. Benar, kita juga tak bisa menyalahkan mereka karena pada dasarnya hal seperti ini adalah penyakit manusia yang mendarah daging yakni melupakan seribu kebaikan hanya karna satu kesalahan.
Cerita di atas menyadarkan saya bahwa betapa saya belum mengenal sepenuhnya kota kelahiran saya. Saya memang belum menemukan jawaban yang saya cari namun saya mendapat pelajaran berharga dari cerita sederhana di atas.
“Kita tumbuh dan bertempat tinggal di kota kelahiran kita namun bukan berarti kita tahu sepenuh tentangnya”
Mari kita lebih mengenal daerah yang kita tinggali, mengenal budaya dan sejarahnya. Setidaknya itu adalah salah satu apresiasi kita dalam menghargai dan mencintai tanah kelahiran kita :)

Komentar

  1. Menurut saya di juluki turatea.
    Karena kerjaan wilayah gowa paling ujung itu binamu. Makanya setiap kerajaan gowa mngatakan turatea sebab ada beberapa istilah untuk menunjuk arah..
    Rateang. Runganh rawa. Ringang..

    BalasHapus
  2. Menurut saya di juluki turatea.
    Karena kerjaan wilayah gowa paling ujung itu binamu. Makanya setiap kerajaan gowa mngatakan turatea sebab ada beberapa istilah untuk menunjuk arah..
    Rateang. Runganh rawa. Ringang..

    BalasHapus
  3. Maaf klo boleh tau dapat referensinya dari mana yah ?

    BalasHapus
  4. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  5. saya suka dengan tulisanta kak, tapi sedikit mengoreksi bahwa masyarakat jeneponto dari dulu sampai sekarang hanya sekitar 70 persen saja yang munggunakan kuda sebagai alat transportasi. 70 persen pun itu adalah angkah yang cukup besar di mana kita ketahui bersama bahwa jeneponto juga memiliki banyak kerbau. tapi itu dulu.

    BalasHapus
  6. Saya mau tanya kenapa Bapakq buat percetekan dia tulis PERCETAKAN TURATEA ..
    Maksudnya itu apa terus bapakku ini Orang kendari tapi sewaktu sekolah sekolah di makassar,..heran juga Alm Bapakku ini hahahah

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

“Si Putih” Tersembunyi di Jeneponto

Riuhnya Pasar Kuda Jeneponto